Interpretasi dari Hasil Pembacaan atas Tiga Cerpen Karya Agus Salim
Patamburu (Lampung Post, 25 Februari 2018), Meme (Kedaulatan Rakyat, 12 November 2017), dan Sebuah Senyum di Balik Cadar (Pikiran Rakyat, 15 Oktober 2017).
Oleh: Club Baca Lembah Nira
Pada minggu ke dua (Jumat,2-11-2018), Club Baca Lembah Nira kembali mengadakan pertemuan. Pertemuan itu dikemas dalam diskusi kecil-kecilan. Sama seperti minggu kemarin (Jumat, 19-10-2018), teman-teman mendiskusikan karya orang Madura. Pertemuan pertama kami membedah karya seorang cerpenis nasional yaitu Muna Masyari dan pertemua ke dua karya-karyanya Agus Salim. Keduanya merupakan cerpenis yang berasal dari Madura.
Hasilnya, cerpen Patamburu memberikan banyak peluang untuk membuka kemungkinan-kemungkinan. Sikap patamburu atau pencemburu yang bisa dibilang berlebihan karena muncul oleh sebuah mimpi. Mimpi tersebut memang berisikan tentang sebuah momen di mana istri sang tokoh utama bermesraan dengan Sudar sedangkan di dunia nyata (menurut pengakuan) sang istri tidak melakukan hal serupa. Bila dikaitkan dengan kejadian yang nyata dalam masyarakat, memang kejadian mimpi tentang perselingkuhan yang datang terus menerus bisa diartikan sebuah isyarat ataupun hal yang bisa menyebabkan runtuhnya sebuah rumah tangga.
Datangnya mimpi seperti itu juga oleh masyarakat umum dikatakan sebagai mimpi kiriman orang yang tidak suka terhadap keluarga yang di tuju, bisa karena sang pelaku mempunyai keinginan untuk merebut pasangan dari target dan bisa juga karena sang pelaku hanya ingin sang target menderita.
Pernyataan sang tokoh utama terhadap tokoh Sudar juga menjadikan kemungkinan akan mimpi ini dikirim olehnya juga sedikit menguat. Dalam cerpen ini Sudar dianggap sebagai seseorang yang menguasai ilmu-ilmu gaib.
Cerpen ini pula memberikan mengisyaratkan kepada para pembaca bahwa dalam kehidupan, sikap overprotective itu tidak hanya dimiliki oleh kaum hawa. Overprotective yang dimaksud adalah sikap penolakan perempuan terhadap upaya poligami atau dalam istilah yang di kenal masyarakat dimadu. Tapi kaum laki-laki justru mempunyai sikap overprotective juga bahkan diikuti dengan kemarahan yang meluap-luap.
Hasil dari cerpen kedua yaitu Meme merupakan fenomena yang tidak asing di masyarakat kita. Terutama tentang kepentingan-kepentingan politik menyangkut penyampaian aspirasi. Kebebasan berpikir bukan hanya dikokohkan oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang politik. Tentu masyarakat umum (berpikir) yang kritis maupun yang memang merasa terganggu atas kebijakan-kebijakan yang berlaku juga memiliki peran penting.
Di dalam cerpen ini Meme yang dibuat oleh penulis merupakan sebuah suara yang katanya (teks) hal itu merupakan hasil pemikirannya atas kebijakan hukum yang berlaku di kotanya. Sehingga di dalam isu yang diangkat, Sudar sebagai tokoh yang tersangkut dalam dampak perbuatan si Satir, pembuat Meme mengakibatkan dia diburu oleh orang-orang suruhan Sudar.
Pada akhirnya kritikan yang dilakukan Satir melalui Meme merupakan wujud kebebasan berpikirnya dia yang tidak setuju dengan kebijakan hukum yang berlaku. Selebihnya cerpen ini membuka kemungkinan lain. Misalnya, terjadinya pro-kontra terhadap kebijakan yang diusung oleh Sudar dan orang-orangnya sehingga membuat Satir melakukan hal itu.
Terakhir, terkait dengan cerpen Sebuah Senyum di Balik Cadar kami masih dalam ruang lingkup membuka kemungkinan. Hasil diskusinya, dalam hal itu, Sudar diklaim sebagai orang lugu atau goblok. Karena sebagaimana dicerita itu, dia merelakan dirinya dijebloskan ke penjara karena dituding membunuh Layat, seorang kepala desa setempat yang hal itu merupakan rencana yang dilakukan oleh Marda, selaku majikan Sudar.
Marda, diceritanya menyuruh Sudar mengamil keuntungan Uang Dana Desa. Sudar selaku tim suksesnya di masa itu sudah berhasil membesarkan nama Marda. Tetapi pada malam hari itu, karena tergiur oleh uang lima ratus ribu, Sudar rela melakukan itu sampai akhirnya dirinya dijebak.
Dalam kejadian itu yang membuat kami penasaran yaitu kemana aparat dan keluarga si korban. Hal itu terasa ganjil di benak kami. Atau jangan-jangan hal itu merupakan unsur kesengajaan yang dilakukan Marda, karena sebelumnya sudah membungkam keluarganya atau malah justru membunuhnya mereka terlebih dahulu. Bisa jadi juga Layat, selaku korban memang tinggal sendiri? Entahlah. Kami hanya bisa menangkap apa yang tampak pada teks dan kelogisan bercerita. Tetapi bukan berarti pernyataan di dalam teks-teks itu tidak logis.
Beberapa hinaan dan tudingan tetap melekat di masyarakat. Bahkan masyarakat di kampungnya sudah sepakat untuk tidak menerima sudar lagi di sana. Sebagaimana kebenaran yang dipegang oleh banyak orang sekali pun itu salah tetap saja dianggap benar. Meskipun Sudar sudah tidak goblok-goblok amat setelah keluar dari penjara, dia tetap tidak diterima di masyarakatnya.
Bahkan istrinya pada saat dia datang di kampungnya juga terlibat bersama masyarakat yang mengolok-olok dirinya dan mengusirnya. Pada saat itu dia memakai cadar sambil tersenyum di bibirnya.
Dalam konteks itu kami mengira istrinya melakukan pembelokan dari Sudar. Bisa jadi bisa jadi berkelebat dalam diskusi kami. Misal ketika Sudar di penjara dan istrinya belum ada pemasukan lalu siapa yang membiayainya? Atau memang istrinya ingin Sudar tiada di hidupnya karena belum bisa memuaskan dalam hal lahirnya meskipun Sudar bisa memuaskan batinnya.
Sebesar-besarnya sebuah karya sastra memang dipasrahkan kepada pembaca. Jadi kata-kata mungkin, bisa jadi, dan jangan-jangan memang sering sekali ditampakkan dalam sebuah pembacaan atau sebuah interpretasi. Lalu, dari kami hanya itu yang bisa disampaikan. Kurang lebihnya kembali kepada pembaca selanjutnya.
Uniknya, 3 cerpen karya Agus Salim ini melibatkan tokoh Sudar. Sehingga membuat kami bertanya-tanya. Apakah penulis mempunyai kedekatan dengan Sudar? Atau jangan-jangan memang sengaja memasukkan nama Sudar karena ingin membuat karakter di dalam karyanya sebagai penulis yang hanya bisa membuat tokoh Sudar di dalam karyanya. Atau jangan-jangan dapat kiriman guna-guna dari Sudar? Haha..
Pamekasan, 2 November 2018.






