Jumat, 02 November 2018

Bedah 3 Cerpen Karya Agus Salim oleh Club Baca Lembah Nira


Interpretasi dari Hasil Pembacaan atas Tiga Cerpen Karya Agus Salim

Patamburu (Lampung Post, 25 Februari 2018), Meme (Kedaulatan Rakyat, 12 November 2017), dan Sebuah Senyum di Balik Cadar (Pikiran Rakyat, 15 Oktober 2017).

Oleh: Club Baca Lembah Nira

Pada minggu ke dua (Jumat,2-11-2018), Club Baca Lembah Nira kembali mengadakan pertemuan. Pertemuan itu dikemas dalam diskusi kecil-kecilan. Sama seperti minggu kemarin (Jumat, 19-10-2018), teman-teman mendiskusikan karya orang Madura. Pertemuan pertama kami membedah karya seorang cerpenis nasional yaitu Muna Masyari dan pertemua ke dua karya-karyanya Agus Salim. Keduanya merupakan cerpenis yang berasal dari Madura.

Hasilnya, cerpen Patamburu memberikan banyak peluang untuk membuka kemungkinan-kemungkinan. Sikap patamburu atau pencemburu yang bisa dibilang berlebihan karena muncul oleh sebuah mimpi. Mimpi tersebut memang berisikan tentang sebuah momen di mana istri sang tokoh utama bermesraan dengan Sudar sedangkan di dunia nyata (menurut pengakuan) sang istri tidak melakukan hal serupa. Bila dikaitkan dengan kejadian yang nyata dalam masyarakat, memang kejadian mimpi tentang perselingkuhan yang datang terus menerus bisa diartikan sebuah isyarat ataupun hal yang bisa menyebabkan runtuhnya sebuah rumah tangga.

Datangnya mimpi seperti itu juga oleh masyarakat umum dikatakan sebagai mimpi kiriman orang yang tidak suka terhadap keluarga yang di tuju, bisa karena sang pelaku mempunyai keinginan untuk merebut pasangan dari target dan bisa juga karena sang pelaku hanya ingin sang target menderita.

Pernyataan sang tokoh utama terhadap tokoh Sudar juga menjadikan kemungkinan akan mimpi ini dikirim olehnya juga sedikit menguat. Dalam cerpen ini Sudar dianggap sebagai seseorang yang menguasai ilmu-ilmu gaib.

Cerpen ini pula memberikan mengisyaratkan kepada para pembaca bahwa dalam kehidupan, sikap overprotective itu tidak hanya dimiliki oleh kaum hawa. Overprotective yang dimaksud adalah sikap penolakan perempuan terhadap upaya poligami atau dalam istilah yang di kenal masyarakat dimadu. Tapi kaum laki-laki justru mempunyai sikap overprotective juga bahkan diikuti dengan kemarahan yang meluap-luap.



Hasil dari cerpen kedua yaitu Meme merupakan fenomena yang tidak asing di masyarakat kita. Terutama tentang kepentingan-kepentingan politik menyangkut penyampaian aspirasi. Kebebasan berpikir bukan hanya dikokohkan oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang politik. Tentu masyarakat umum (berpikir) yang kritis maupun yang memang merasa terganggu atas kebijakan-kebijakan yang berlaku juga memiliki peran penting.

Di dalam cerpen ini Meme yang dibuat oleh penulis merupakan sebuah suara yang katanya (teks) hal itu merupakan hasil pemikirannya atas kebijakan hukum yang berlaku di kotanya. Sehingga di dalam isu yang diangkat, Sudar sebagai tokoh yang tersangkut dalam dampak perbuatan si Satir, pembuat Meme mengakibatkan dia diburu oleh orang-orang suruhan Sudar.

Pada akhirnya kritikan yang dilakukan Satir melalui Meme merupakan wujud kebebasan berpikirnya dia yang tidak setuju dengan kebijakan hukum yang berlaku. Selebihnya cerpen ini membuka kemungkinan lain. Misalnya, terjadinya pro-kontra terhadap kebijakan yang diusung oleh Sudar dan orang-orangnya sehingga membuat Satir melakukan hal itu.
Terakhir, terkait dengan cerpen Sebuah Senyum di Balik Cadar kami masih dalam ruang lingkup membuka kemungkinan. Hasil diskusinya, dalam hal itu, Sudar diklaim sebagai orang lugu atau goblok. Karena sebagaimana dicerita itu, dia merelakan dirinya dijebloskan ke penjara karena dituding membunuh Layat, seorang kepala desa setempat yang hal itu merupakan rencana yang dilakukan oleh Marda, selaku majikan Sudar.

Marda, diceritanya menyuruh Sudar mengamil keuntungan Uang Dana Desa. Sudar selaku tim suksesnya di masa itu sudah berhasil membesarkan nama Marda. Tetapi pada malam hari itu, karena tergiur oleh uang lima ratus ribu, Sudar rela melakukan itu sampai akhirnya dirinya dijebak.

Dalam kejadian itu yang membuat kami penasaran yaitu kemana aparat dan keluarga si korban. Hal itu terasa ganjil di benak kami. Atau jangan-jangan hal itu merupakan unsur kesengajaan yang dilakukan Marda, karena sebelumnya sudah membungkam keluarganya atau malah justru membunuhnya mereka terlebih dahulu. Bisa jadi juga Layat, selaku korban memang tinggal sendiri? Entahlah. Kami hanya bisa menangkap apa yang tampak pada teks dan kelogisan bercerita. Tetapi bukan berarti pernyataan di dalam teks-teks itu tidak logis.

Beberapa hinaan dan tudingan tetap melekat di masyarakat. Bahkan masyarakat di kampungnya sudah sepakat untuk tidak menerima sudar lagi di sana. Sebagaimana kebenaran yang dipegang oleh banyak orang sekali pun itu salah tetap saja dianggap benar. Meskipun Sudar sudah tidak goblok-goblok amat setelah keluar dari penjara, dia tetap tidak diterima di masyarakatnya.

Bahkan istrinya pada saat dia datang di kampungnya juga terlibat bersama masyarakat yang mengolok-olok dirinya dan mengusirnya. Pada saat itu dia memakai cadar sambil tersenyum di bibirnya.

Dalam konteks itu kami mengira istrinya melakukan pembelokan dari Sudar. Bisa jadi bisa jadi berkelebat dalam diskusi kami. Misal ketika Sudar di penjara dan istrinya belum ada pemasukan lalu siapa yang membiayainya? Atau memang istrinya ingin Sudar tiada di hidupnya karena belum bisa memuaskan dalam hal lahirnya meskipun Sudar bisa memuaskan batinnya.

Sebesar-besarnya sebuah karya sastra memang dipasrahkan kepada pembaca. Jadi kata-kata mungkin, bisa jadi, dan jangan-jangan memang sering sekali ditampakkan dalam sebuah pembacaan atau sebuah interpretasi. Lalu, dari kami hanya itu yang bisa disampaikan. Kurang lebihnya kembali kepada pembaca selanjutnya.

Uniknya, 3 cerpen karya Agus Salim ini melibatkan tokoh Sudar. Sehingga membuat kami bertanya-tanya. Apakah penulis mempunyai kedekatan dengan Sudar? Atau jangan-jangan memang sengaja memasukkan nama Sudar karena ingin membuat karakter di dalam karyanya sebagai penulis yang hanya bisa membuat tokoh Sudar di dalam karyanya. Atau jangan-jangan dapat kiriman guna-guna dari Sudar? Haha..
Pamekasan, 2 November 2018.

Kamis, 05 Juli 2018

CUACA BURUK MENENGGELAMKAN BUSER



Foto: Nofianto
Oleh: Zainal A. Hanafi

Kamis, (05/07/18)- Telah ditemukan perahu nelayan karam di desa pesisir Bandaran. Ini terjadi pada pukul 07:35. Perahu yang bernama Buser tersebut, sebelum tenggelam dikabarkan oleh Panampona (pengurus perahu) masih dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa perahu mengalami kebocoran atau tanda-tanda yang lain. Lalu, beberapa jam kemudian setelah pengurus perahu itu pulang dan tidur di rumahnya. Salah seorang yang berada di atas pancong (cadas) mengabarkan kepada pemilik perahu bahwa perahunya mau tenggelam. Pantat perahu sudah tertelan air bersama mesin utama.

Kejadian ini mengundang sejumlah masyarakat sekitar untuk membantu menguras air yang sudah masuk. Menurut pengamatan masyarakat, perahu yang bernama Buser ini diduga sudah kesurupan air sejak tadi malam. Karena cuaca dan ombak sedang ribut di laut sampai tadi pagi. Jaring-jaringnya diangkut ke perahu lain. Sedangkan mesin masih dibiarkan. Dek perahu yang telah kesurupan air sudah tak kuat menampung sehingga perahu mudah tenggelam. Untungnya perahu ini masih utuh dalam artian tidak hancur, tidak seperti sepuluh tahunan yang lalu dan ombak juga tidak terlalu besar pada saat perahu itu tenggelam.

Sekarang kejadian ini menjadi pusat kewaspadaan karena cuaca masih tetap sama. Sekarang masih musim angin Ghendhing (ditandai dengan adanya ombak besar dan angin ribut). Masukan bagi para pengurus perahu yang pertama adalah tidak lalai dalam memperhatikan tali pengikat dan juga mengecek kebocoran di dek perahu.

Evakuasi dilakukan sejak tadi pagi dengan menggunakan tali yang digerek sama-sama oleh warga. Tak ada korban dalam kejadian ini. Mungkin hanya mengalami sedikit kerugian dan kecemasan bagi pemilik perahu. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran dan ditabahkan.
5 Juli 2018

Selasa, 03 Juli 2018

PER-PERAN, BUDAYA KONSUMSI, DAN BUDAYA PAMER


Oleh: Zainal A. Hanafi

"Per-peran" merupakan sentral perayaan atas hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Banyak orang menyebutkan bahwa hal itu adalah tradisi turun temurun. Tradisi itu dilaksanakan mulai sejak dahulu, setelah Indonesia dinyatakan merdeka. Ini sangat memungkinkan bahwa warga menggunakan sarana delman peninggalan Belanda yang digunakan sebagai simbol perayaan. Berhubung desa kami, Bandaran-Tanjung adalah jalan raya, jalur menuju kota dan Provinsi. Jalan ini sebagai jalan bagi penjajah yang pernah menapaki pulau garam. Baik Belanda maupun Jepang. Ini setahu saya.

Sampai saat ini yang paling banyak dibicarakan di desa saya mengenai sejarah desa adalah Belanda. Karena sebelum desa ini dinamai dengan desa Bandaran. Desa ini menjadi pelarian tentara-tentara Belanda, atas musibah yang mereka timpa. Perut mereka tiba-tiba sakit dan mengalami diare setelah memakan salah satu buah-buahan kecil di desa tetangga. Maka dari itu desa saya dulu bernama "Cere'" yang artinya "Diare" dan nama tempat buah-buahan itu didapat bernama desa Keramat.

Karena nama itu menimbulkan keberatan oleh warga setempat. Akhirnya warga  protes dengan membuat surat pergantian nama tempat kepada Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Waktu itu ada kabar bahwa Presiden akan datang ke pulau Madura. Nah pada saat Presiden itu mau lewat di jalan raya. Warga menutup jalan dengan menaruh "Carang" atau "ranting-ranting pohon bambu" sambil lalu menancapkan surat itu di sana. Digantilah oleh Presiden Soekarno pada waktu itu dengan nama Bandaran yang artinya "Pelabuhan". Kurang lebihnya begitu.

Perayaan "Per-peran" dimaknai dengan simbol silaturahmi antar desa Bandaran yang merupakan perbatasan Pamekasan bagian selatan dengan Tanjung yang merupakan perbatasan Sampang bagian selatan. Jadi tradisi ini hanya muncul di desa perbatasan. Saya sempat melihat dengan tradisi yang serupa di berita. Di Jawa Tengah, tempatnya saya lupa. Itu juga ada tradisi semacam ini. Ya mungkin banyak yang seperti ini. Tapi masih belum diketahui oleh masyarakat banyak.

"Per-peran" bisa juga diartikan sebagai tradisi di mana warga naik delman yang terdiri dari kuda beserta tempat duduk di belakang yang tak beratap dan memiliki Suspense atau "Pèr" kata orang sini. Mereka naik bolak balik ngukur jalan antara batas Bandaran dan Tanjung. Kemudian saya mengartikan bahwa tradisi ini sesungguhnya punya nilai filosofi tersendiri. Di balik perjalanan yang bolak-balik itu terdapat sesuatu yang bisa dimaknai dengan silaturahmi yang saling timbal-balik. Ini bukan perkara untuk desa Bandaran dan Tanjung. Tetapi jauh dengan perihal itu, hal ini telah mencakup keseluruhan masyarakat Madura yang punya kearifan lokal yang tinggi. Salah satunya adalah budaya kebersamaan atau "Ghutong-rojhung" (gotong-royong).

Perkembangan budaya "Per-peran" dari saya SD sampai saat ini. Masyarakat sini tak pernah lepas dari yang namanya budaya konsumsi. Saya tidak mau menyalahkan bahwa masyarakat sini terlalu berlebihan dalam mengonsumsi, baik pakaian maupun makanan. Tetapi saya hanya mau bicara seadanya saja. Karena saya juga pernah merasakan hal ini, di mana saya ditanamkan oleh rasa Ajhina Abâ' (harga diri) oleh keluarga saya sendiri. Menanam rasa itu telah memunculkan kebiasaan mengonsumsi berlebih. Karena para orang tua kebanyakan bilang bahwa mereka tidak ingin anaknya lain dari anak-anak yang lain. Misalkan beli baju baru. Ya mau tidak mau mereka harus memberikannya setiap perayaan itu mau berlangsung. Seperti percakapan saya kemarin. "Bu saya tidak usahlah dibelikan baju. Kan sudah ada baju yang masih layak pakai." dan ibu saya tetap membelikannya karena itu merupakan tanggung jawab bagi ibu katanya sebagai orang tua. Ibu saya tidak mau kalau temen saya pakai baju baru dan saya tidak. Ya mungkin kebanyakan orang tua juga begitu di sini maupun di luar sana.

Apa guna baju baru? Itu pertanyaan mendasar atas perilaku konsumsi. Kita bisa melumrahkan jika baju baru dibeli karena tidak punya baju yang layak lagi atau baju yang dulu sudah kekecilan. Tetapi kalau hanya menumpuk baju baru sedangkan baju lama masih bagus dan layak pakai dibiarkan. Ini malah "mubazir" jadinya. Katanya, bukankah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang wajib diperbarui itu adalah hatinya? Hati yang kotor selama tahun-tahun sebelumnya. Saya juga tak menyalahkan dalam hal ini sih. Hanya saja, betapa setidaknya mengurangi budaya itu sejak dini. Lebih baik disedekahkan kepada mereka yang tidak mampu. Tidak mampu membeli baju dan membayar uang sekolah. Itu lebih baik dan bisa membersihkan hati kita. Tapi tidak hanya itu cara untuk membersihkan hati. Banyak cara lainnya. Seperti mempererat silaturahmi.

Budaya di masyarakat sini juga cukup aneh. Selama berbulan-bulan sebelum lebaran mereka membeli emas untuk dipakai di hari raya. Ada juga yang memang membeli karena untuk menyimpan uang di dalam bentuk barang. Katanya emas adalah sebaik perhiasan yang bisa mengurangi pengeluaran uang. "Bila tak ada uang ya bisa digadaikan atau dijual sesuai dengan keperluan" katanya. Kebanyakan pembelian emas itu mereka peroleh dari hasil nelayan dan memancing. Kalau untuk orang yang bekerja di kantor. Biasanya menaruh uang bukan dalam bentuk barang, melainkan menitipkannya di Bank atau apalah itu. Ada juga yang hasil dari pekerjaan mereka diikutkan arisan. Sebagaimana kebutuhan yang tidak mendesak-desak sekali. Ada juga karena ingin tampil sebagai orang yang harus ada perhiasan di hari lebaran. Mereka meminjam uang untuk beli atau membelikan emas palsu sebagai gantinya. Karena harga diri katanya jika tidak ada emas di hari lebaran. Ini juga banyak kejadiannya.

Karena budaya konsumsi telah melekat sejak kecil. Tak banyak juga orang yang menyediakan usaha pinjam-meminjam, baik baju maupun barang-barang. Persediaan itu akhirnya menjadi budaya bagi mereka yang kesulitan bekerja. Karena usaha itu adalah usaha yang cukup gampang dan mudah dapat uang. Tapi segampang-gampangnya dapat uang pasti ada resikonya. Resiko dalam persediaan itu biasanya orang yang tidak bayar lalu kabur ke negeri lain dan sebagainya. Istilah dalam persediaan itu di sini disebut sebagai "Mindreng" (rentenir rumahan). Hal ini banyak dilakukan oleh kalangan gadis remaja yang menikah dengan orang yang umurnya sama. Alasan utama karena perekonomiannya kurang memadai dalam keluarganya.

Dapat disimpulkan bahwa budaya memakai pakaian baru dan memakai perhiasan di hari lebaran menjadi ajang pamer-pameran. Tapi ini tergantung orangnya masing-masing. Mereka berniat memamerkan apa tidak? Tapi menurut pengalaman saya bahwa itu nyata adanya. Budaya pamer-pameran memang berlangsung sampai saat ini. Di perayaan "Per-peran". Kenapa banyak orang yang duduk di halaman rumah dan menyesaki pinggir jalan raya?  Apa tujuannya? Selama ini yang dilihat mereka adalah orang atau warga yang bolak-balik ngukur jalan memakai sepeda motor maupun "kar-dokaran" (naik delman). Poin penting yang saya terima adalah mereka tentu saja memiliki perbandingan-perbandingan atas apa yang mereka pakai. Apakah pakaian saya lebih bagus? Dan itu juga menimbulkan berbagai khayalan-khayalan. Pakaian pun juga harus disesuaikan dengan model yang telah berlangsung. Baik meniru ala artis Indonesia maupun barat. Sejauh ini budaya memamerkan ketek juga sangat banyak. Just kidding. Hehehe.

Tidak hanya itu yang terjadi. Perawatan juga menjadi pusat lerhatian yangbutama. Mana meluruskan rambut, memutihkan wajah, mengkritingkan rambut, atau apalah itu namanya. Itu juga terjadi. Tapi saya tidak mau berpanjang lebar tentang ini. Semua pasti tahu jika melihatnya langsung. Jadi jangan heran jika kenapa banyak orang dan rame di jalan raya Bandaran dan Tanjung? Itu semua adalah tradisi dan budaya yang saling memagut. Untuk kemacetan jalan saya rasa separuhnya bukan salah masyarakat kami yang membuat macet. Tapi salah satunya pemudik dan orang-orang pelosok desa yang turut hadir memeriahkannya. Mana lagi ada orkes di Camplong dan tempat-tempat lainnya. Perayaan ini usai dan dilanjut di malam harinya untuk ke Pamekasan. Memanjakan anak-anaknya atau mau asik mengapeli pacar karena sebulan puasa rindu. Hahai. Yah. Begitulah tradisi dan budaya kami. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Kira-kira begitu pengetahuan saya. Jangan lupa kritik dan sarannya.

04 Juli 2018.

Jumat, 22 Juni 2018

FILOSOFI KO' SAPÈNA MENJELANG LEBARAN


Kali ini saya akan menulis tentang "Filosofi Ko' Sapèna Menjelang Lebaran". "Ko' Sapèna" merupakan bahasa Madura. Ini kalau diterjemahkan secara mentah tanpa tahu sesuatu yang betul itu bagaimana. Istilah itu jadi berarti "Ikan Sapi". "Ko'" yang merupakan bentuk lain dari "Jhuko'" "ikan". Sedangkan "Sapè" murni berarti sapi. Jadi istilah tersebut merupakan satu kesatuan sebagaimana penyebutan ikan-ikan yang lain. Misal "Ko' Tahu" berarti "Ikan Tahu" dan ikan-ikan yang lain. Tetapi sebetulnya istilah tersebut merupakan berarti Menggunakan ikan sapi sebagai santapan. Sama deh seperti kalian bilang. Menu hari ini ikannya pake apa. Pake ikan Cakalan misalnya. Tetapi peristilahan dalam bahasa Madura, mengenai penyebutan memakai ikan apa itu, dengan pertanyaan "Jhuko' apa satèya?" "Ikan apa sekarang?" pasti jawabannya "Ko' sapè" "pake daging sapi" dan jawaban dengan pake ikan yang lainnya. Aduh saya aja yang orang Madura masih bingung dengan peristilahan tersebut. Karena saking uniknya bahasa Madura.

Baiklah saya tidak lagi membahas arti dari kesatuan kata itu. Semoga kalian paham. Yang tidak paham jangan lupa komentar. Saya pasti jawab sebisa saya.

Saya akan bahas bahwa kami, di Madura mempunyai sesuatu yang memang dimiliki oleh masyarakat kami. Itu sepengetahuan saya sih. Bisa jadi ada yang tidak punya tradisi beginian. Yaitu tentang tradisi "Ko' Sapèna" yang maknanya semua orang memakan daging sapi. Entah ini masuk tradisi apa budaya saya tidak tahu. Karena sapi sebagai bahan utama yang keberadaannya memang sejak dahulu bahwa masyarakat Madura kebanyakan memelihara sapi. Maka ya mungkin daging sapi sebagai makanan istimewa untuk acara-acara tertentu. Bisa jadi menu tersebut sebagai hal yang biasa bagi mereka yang sudah memiliki sapi sebelumnya.

Di luar pengetahuan saya yang tidak tahu hal ini masuk ke tradisi apa budaya. Saya menganggap bahwa ini merupakan tradisi. Terutama tradisi makan daging sapi ini yang kemunculan istilah tersebut muncul pada saat lebaran dilaksanakan besok harinya. Baik lebaran Idul Fitri, Idul Adha maupun lebaran ketupat. Di hari itu, menjelang sehari lebaran. Masyarakat pasti menyebut bahwa hari itu adalah "Ko' Sapèna". Saya memahaminya bahwa hal ini terjadi setahun sehari. Setahun sekali ini ditandai dengan simbol perayaan atas menghadapi keimanannya selama bulan Ramadhan. Salah satunya dirayakan dengan memakan daging sapi dalam bentuk apa pun. Baik sate maupun resep lainnya. Setelah saya tanya ke beberapa warga. Kenapa mayoritas masyarakat Madura memakan daging sapi pada saat satu hari sebelum lebaran? Mereka kebanyakan menjawab bahwa dari nenek moyang kami. Kami memang menggunakan bahan utama daging sapi sebagai simbol perayaan. Dari situ saya menangkap. Seandainya tidak ada sapi-sapi yang dipelihara di Madura. Mungkin masyarakat tidak menggunakan daging sapi sebagai bahan utama. Bisa jadi "ko' ajâm" "Ikan Ayam", menggunakan daging ayam yang jadi bahan utama. Tapi tradisi ini juga berlangsung di perayaan Idul Adha dan mungkin perayaan-perayaan yang lain.

Saya juga menilai bahwa posisi daging sapi di Madura telah mengalahkan daging-daging yang lainnya. Jadi kemungkinan besar dari kemenangan daging sapi atas daging-daging yang lain merupakan daging yang istimewa. Masyarakat menggunakan daging yang istimewa sebagai simbol perayaan atas kejadian yang berlangsung setahun sekali. Ya mungkin masyarakar luar memandang bahwa daging sapi merupakan daging yang biasa dicicipi. Keberadaannya selalu ada di pasar-pasar manapun. Tetapi di Madura, yang tidak semua penduduknya mampu membeli daging sapi. Perayaan ini adalah kemenangan bersama. Termasuk yang tidak mampu membeli. Mereka ikut mencicipi dari tradisi "Ter-ater" "saling mengantarkan" (daging sapi) dalam hari "ko' sapèna". Dan lebaran masih ada tradisi "Per-peran" di wilayah saya. Nanti saya tulis setelah ini. 

Semoga yang membaca tulisan ini mengerti. Setidaknya sedikit. Saya jadi cemas tulisan saya dapat membingungkan pembaca. Karena ya pengetahuan saya hanya segitu. Saya butuh banyak pengetahuan mengenai tradisi atau budaya "ko' sapena" baik dari istilah maupun pemaknaan atas simbol yang digunakan. Saya masih belajar dan mau belajar. Kira-kira begitu. Terima kasih.
2018.


KEHARMONIAN DALAM KISAH PERSAUDARAAN KAMI



Saya mungkin akan ceritakan sedikit cerita mengenai saudara-saudara saya. Yang pertama adalah persoalan keharmonisan. Begitu saya menginjak SMP saya cenderung memiliki banyak potensi untuk iri kepada seseorang. Saya seorang anak bungsu (anak ke empat) dari empat bersaudara. Pada waktu itu wacana tentang eksistensi anak bungsu adalah dibilang nyaman, suka dimanja sama orang tua, dan suka dinomorsatukan sudah menjadi pegangan di kepala saya. Tetapi setelah saya mengetahui berbagai hal menyangkut eksistensi saya di lingkungan keluarga. Saya lebih banyak mengamati. Saya memegang rasa iri yang terlalu kuat. Ada cerita pada suatu pagi. Emak saya membagi-bagikan mainan kepada anak orang lain dan Emak memang orangnya suka berbagi. Pada waktu itu saya tidak suka terhadap sosok Emak dan apalagi menghubung-hubungkan dengan wacana yang saya sebutkan di atas. Saya malah nangis. Alasannya karena tidak bisa berbuat adil. Dulu saya meminta sesuatu. Malah saya yang manja daripada dimanjakan.

Pada akhirnya cerita itu terus berulang. Dan saya selalu begitu. Termasuk ke kakak-kakak saya. Setiap kepunyaan saya yang dipakai oleh kakak saya. Saya selalu tidak membolehkan. Saya malah memaksa untuk menaruhnya kembali. Peristiwa ini amat sangat membuat saya menyesal. Apalagi ke saudara saya yang pertama. Saya sangat pelit kepada dia. Saya ingat sebuah peristiwa di mana kakak saya yang pertama itu memakai baju saya. Kira-kira usia saya masih delapan belasan tahun (MA). Kakak saya mau pake buat pergi ke rumah temannya. Dan saya menyuruhnya untuk melepas. Dia tetap ngotot dan memelas untuk tetap memakainya. Sikap saya yang cenderung pelit waktu itu tetap tidak mau. Akhirnya dengan wajah yang memelas kakak saya melepaskan pakaian saya. Dia pergi dengan pakaian lain, pakaiannya sendiri. Ya Tuhan saya tidak membayangkan betapa saya sangatlah buruk waktu itu.

Dengan keadaan yang begitu saya masih bertahan. Kakak saya yang pertama ini sering sekali dimusuhi oleh kakak-kakak saya yang lain. Ada berbagai alasan kakak-kakak saya tidak suka kepada kakak saya yang pertama. Tetapi tidak sedikit pun setelah saya ketahui bahwa kakak saya yang pertama ini punya sifat iri. Dia malah bersabar. Dia bertengkar sama kakak saya dengan kondisi saling memukul. Saya rasa dia hanya memberi pelajaran bagi adik-adiknya yang mulai tak sopan kepada dia. Dia begitu sabarnya meladeni adik-adiknya yang tidak suka.

Pengetahuan saya mulai bertambah. Begitu pula dengan kakak-kakak saya. Saya sekarang malah sadar bahwa sikap kakak saya yang pertama adalah upaya dia untuk mempertahankan cintanya kepada adik-adiknya. Memberikan senyum. Terbuka dengan memberikan apa yang dia punya. Tidak seperti kakak-kakak saya yang lain. Saya masih merasa bersalah dengan kakak saya yang pertama. Dia adalah sosok kakak yang mencintai tanpa mengharapkan apa-apa dari adiknya. Dia adalah sosok yang percaya bahwa upaya dia memberikan cintanya agar adik-adiknya juga mempunyai sifat memberi. Mungkin dia sebagai kakak yang pertama adalah menjadikan dia figur untuk dicontoh oleh adik-adiknya. Apa-apa yang dipunyai dan jika seharusnya diberikan. Dia akan memberi. Begitu kakak-kakak saya memperjuangkan bagaimana cara membuat adik-adiknya mengharmoniskan diri dengan keluarga.

Setelah semua kakak-kakak saya menikah. Kecuali saya dan kakak pertama saya yang belum (idih promosi). Sampai saat ini kami baik-baik saja. Tanpa ada pertengkaran. Tetapi persoalan ya pasti ada. Kakak-kakak saya punya karakter beda-beda. Yang jelas kami berusaha untuk membuat hubungan kami baik sampai mencapai titik keharnonisan. Keharmonisan itu ya yang semuanya menerima. Memahami satu sama lain. 

Ternyata kekesalan itu muncul ketika tidak menggunakan kesadaran. Kita bisa melihat permasalahan sebagai sesuatu yang salah. Tanpa tahu dan mencari tahu di mana letak kesalahannya. Sebagai manusia memang itulah yang harus dikedepankan. Sisi-sisi kemanusiaan. Kakak saya mengajarkan banyak kisah tentang bagaimana cara mencintai keluarga tanpa ada yang tersakiti. Semoga keluarga saya dan hubungan kami dieratkan dengan rasa toleransi. Sikap terbuka dan juga dipecahkan bersama semoga menjadi perisai. Salam dan maaf. Semoga tulisan ini tidak menyinggung siapapun. Sampai sekarang saya begitu paham. Bahwa keharmonisan itu datang ketika kita saling memahami. Baik karakter mereka yang pelit, yang suka marah-marah, yang pendiam, dan yang lain-lain. Lebih-lebih bahwa saya sampai sekarang merasa bersalah. Semoga dia memakluminya. Hihii

Ya begitulah kira-kira ceritanya. Jangan pernah sia-siakan waktu bersama keluarga! Ini penting.
2018

Rabu, 06 Juni 2018

PERISTIWA TANGAN IBU YANG PATAH DAN KUATNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT


Peristiwa hari rabu di tanggal 6 Juni 2018 Ibu terjatuh ketika sedang berjalan menuju Musolla. Tanah tempat Ibu terjatuh, diketahui rata tanpa ada batu-batu yang mencuat ke luar dari tanah. Kejadiannya tepat saat Ibu mau sholat Asyar. "Saya jatuh dua kali. Setelah jatuh dalam keadaan menahannya dengan tangan kemudian bangun tangan sakit dan terjatuh lagi dengan keadaan telentang." begitu ungkapnya ketika saya tanya.

Kabar kecelakaan ini membuat saya segera pulang. Karena beberapa minggu ini saya memang belum pernah pulang dengan alasan banyaknya acara beruntun sekaligus mencari informasi loker dan mendaftarkan diri ke beberapa perusahaan. Saya kemudian segera menemui Ibu di dalam rumah yang tangannya sudah dibalut dengan perban dan dilapisi kerudung miliknya. Kabar kecelakaan tangan Ibu yang patah membuat saya menyalahkan diri saya sendiri. Seandainya ada saya. Ibu mungkin tidak celaka. Karena beliau pasti ngajak saya shalat berjamaah bersama di Musolla. Tapi mau bagaimana lagi toh semuanya sudah ada yang ngatur.

Kejadian ini yang menurut Ibu sendiri berasal dari mimpi semalam. Ibu menghubung-hubungkannya dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Ya seharus memang begitu sih jika ada suatu kejadian yang menimpa tiba-tiba. Pertanyaan dengan kata "jangan, jangan dan jangan, jangan". Semua butuh jangan, jangan. Tapi jangan sampai melupakan satu hal dari perihal jangan, jangan. Yaitu jangan melupakan Tuhan. Kembali ke perihal mimpi. Ini Ibu semalam katanya mimpi tentara tampan. Saya malah diam saja waktu beliau bercerita meskipun menurut saya tidak ada hubungan apa pun. Nanti kalau diberitakan judulnya jadi "Mimpi Tentara Tampan Membuat Seorang Jatuh Celaka" Haha. Tapi jangan, jangan ada hubungannya juga. Sebagaimana penafsir mimpi berlomba-lomba untuk memecahkan misteri dalam mimpi.

Katanya lagi. Kecelakaan ini terjadi gara-gara seorang perempuan nagih uang ikan berkali-kali. Padahal Ibu saya sedang tidur. Ibu saya terbangun juga karena kesal tidur enaknya diganggu-ganggu. Akhirnya Adzan Asyar berkumandang dan membuat Ibu tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi. Ya terjadilah hal itu ketika hendak mau ke Musolla.

Dan satu hal lagi mengenai kecelakaan ini. Kejadian ini terjadi gara-gara tubuh Ibu saya didorong setan dari belakang, ini menurut pengakuan Ibu saya sih dan juga mendapat legitimasi dari seorang Kiai Dukun. Ibu saya diikuti setannya sejak dari kamar mandi. Oh berarti kurang ajar tuh setan ngintip Ibu saya mandi. Astagaa...ini bulan puasa, yang katanya setan itu dikerangkeng. Pikir saya. Lagi-lagi saya terdiam mengenai pengakuan itu. Ditaruhlah kemenyan di kamar mandi sebagai simbol sesajen. Ketika bapak datang bekerja nelayan pukul satu pagi. Beliau langsung negor Ibu setelah mengetahui bahwa Embak saya pergi ke Kiai Dukun. "Setan-setan apa itu di kamar mandi." katanya. Yah. Bapak saya memang begitu. Tapi kadang beliau setuju saja ketika beliau sakit dan Ibu menyuruhnya untuk meminta bantuan Kiai Dukun menangani sakitnya. Lucu sih. Mereka berdua memiliki kepercayaan yang berbeda meskipun ujung-ujungnya salah satu dari mereka pasti nurut. Ini mungkin demi kenyamanan bersama agar tidak berkonflik.

Kepercayaan-kepercayaan itu memang sebagian orang tidak mempercayainya bahwa bulan puasa setan masih berkeliaran. Tapi menurut pengakuan orang-orang sekitar. Bahwa kita harus mematuhi sesepuh kita yang mempercayai bahwa tidak ada bulan-bulan tertentu bagi setan itu meniadakan dirinya. Mereka selalu ada. Entah itu di hati dan di luar. Dari kejadian ini saya berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh perempuan yang menagih uang ikan itu adalah bentuk dari detik-detik ujian Tuhan mau datang. Ini menurut saya sih. Seandainya tidak dibanguni, Ibu tidak akan seperti ini. Tapi tetap saja dapat ujian. Ya namanya manusia. Pasti semua dikasih ujian. Tuhan mengatur waktu sebaik-baiknya dan kita tidak bisa tahu bagaimana bentuknya dari waktu-waktu itu. 

Semoga di bulan penuh barokah ini, keluarga kami diberikan kesehatan dan juga keberkahan. Amiin.
Pamekasan, 2018.

Kamis, 24 Mei 2018

TERNYATA UNIVERSITAS MADURA PUNYA NOVELIS PEREMPUAN




Sungguh ini kabar baik bagi saya pribadi. Saya sangat senang jika ada seorang yang menulis novel yang berasal dari tempat saya pernah belajar. Tepatnya di Universitas Madura. Dia adalah seorang perempuan yang masih menempuh mata kuliah. Kira-kira semester empat di FKIP, jurusan Matematika. Lahir di Camplong, Sampang. Dia anak pondok pesantren. Sehari-harinya saya tidak paham betul. Tapi sekali lagi saya sangat bangga. Semoga bisa menginspirasi teman-teman sekitarnya. Jurusan bukan hambatan untuk menulis karya sastra. Ingat ya!
             Universitas Madura khususnya FKIP sudah punya banyak peluang untuk menjadi penulis. Selain dosen-dosennya yang tidak henti membimbing anak didiknya, saya kira Mahasiswa dan Mahasiswinya juga tak kalah semangat untuk menggali potensinya di sana. Karena banyak hal juga yang harus diambil di sana. Kualitas buku-bukunya dan bahan ajar yang diajarkan kepada semuanya adalah berkualitas. Saya, selaku mantan Mahasiswa Unira dan Supriyadi Afandi sudah menerbitkan kumpulan cerpen bahasa Madura, Ésarèpo Bèncong dan Eghirrep Setan, semua terbit di tahun 2017. Langkah ini adalah langkah baru bagian kemajuan kreatifitas Mahasiswa dan Mahasiswi Unira. Selanjutnya yang saya bahas ini. 
            Saya juga merasa jarang melihat  seorang perempuan, di Madura yang menulis novel. Baru ada dua yang saya ketahui. Mungkin ada banyak tapi masih sembunyi-sembunyi. Pertama adalah Mbak Endang Kartini yang menulis novel Ali dan Aisyah dan kedua Afisya Drily yang menulis novel Mahligai Cinta Sauqy yang diterbitkan di Duta Media, 2018. Keduanya bergenre sama. Sama-sama berlatar pesantren.
            Saya menghimbau kepada dosen-dosen Unira terutama FKIP untuk menyaring Mahasiswa/Mahasiswi yang punya bakat. Saya kira mereka hanya butuh wadah. Berikan kesempatan kepada mereka yang punya bakat untuk berkembang. Apalagi mempunyai bakat menulis. Misalkan diberikan bimbingan untuk proses pematangan karya. Dampaknya ya saya rasa semua tahu.
            Dengan bahagia saya mengucapkan selamat kepada saudari Afisya Drily atas kelahiran anak pertamanya. Semoga melahirkan anak-anak lagi. Teruslah menulis dan jangan lupa banyak membaca! Saya juga bisa untuk menjadi patner teman-teman yang ingin menulis. Kirimkan karya kalian ke zainalcao95@gmail.com. Saya akan bantu mengoreksi. 
            Saya sarankan kepada teman-teman untuk membelinya. Jangan minta ya. Karena mengapresiasi karya teman adalah dengan membeli bukan memintanya. Betapa besar kekuatan dan perjuangan yang ia keluarkan saat menulis novel ini. Kalian pasti tahu soal ini. Harganya 35rb. Murahkan ya? Beli. Saya sendiri pasti beli karya teman-teman yang berkarya di Unira. Mari berkarya!