Saya mungkin akan ceritakan sedikit cerita mengenai saudara-saudara saya. Yang pertama adalah persoalan keharmonisan. Begitu saya menginjak SMP saya cenderung memiliki banyak potensi untuk iri kepada seseorang. Saya seorang anak bungsu (anak ke empat) dari empat bersaudara. Pada waktu itu wacana tentang eksistensi anak bungsu adalah dibilang nyaman, suka dimanja sama orang tua, dan suka dinomorsatukan sudah menjadi pegangan di kepala saya. Tetapi setelah saya mengetahui berbagai hal menyangkut eksistensi saya di lingkungan keluarga. Saya lebih banyak mengamati. Saya memegang rasa iri yang terlalu kuat. Ada cerita pada suatu pagi. Emak saya membagi-bagikan mainan kepada anak orang lain dan Emak memang orangnya suka berbagi. Pada waktu itu saya tidak suka terhadap sosok Emak dan apalagi menghubung-hubungkan dengan wacana yang saya sebutkan di atas. Saya malah nangis. Alasannya karena tidak bisa berbuat adil. Dulu saya meminta sesuatu. Malah saya yang manja daripada dimanjakan.
Pada akhirnya cerita itu terus berulang. Dan saya selalu begitu. Termasuk ke kakak-kakak saya. Setiap kepunyaan saya yang dipakai oleh kakak saya. Saya selalu tidak membolehkan. Saya malah memaksa untuk menaruhnya kembali. Peristiwa ini amat sangat membuat saya menyesal. Apalagi ke saudara saya yang pertama. Saya sangat pelit kepada dia. Saya ingat sebuah peristiwa di mana kakak saya yang pertama itu memakai baju saya. Kira-kira usia saya masih delapan belasan tahun (MA). Kakak saya mau pake buat pergi ke rumah temannya. Dan saya menyuruhnya untuk melepas. Dia tetap ngotot dan memelas untuk tetap memakainya. Sikap saya yang cenderung pelit waktu itu tetap tidak mau. Akhirnya dengan wajah yang memelas kakak saya melepaskan pakaian saya. Dia pergi dengan pakaian lain, pakaiannya sendiri. Ya Tuhan saya tidak membayangkan betapa saya sangatlah buruk waktu itu.
Dengan keadaan yang begitu saya masih bertahan. Kakak saya yang pertama ini sering sekali dimusuhi oleh kakak-kakak saya yang lain. Ada berbagai alasan kakak-kakak saya tidak suka kepada kakak saya yang pertama. Tetapi tidak sedikit pun setelah saya ketahui bahwa kakak saya yang pertama ini punya sifat iri. Dia malah bersabar. Dia bertengkar sama kakak saya dengan kondisi saling memukul. Saya rasa dia hanya memberi pelajaran bagi adik-adiknya yang mulai tak sopan kepada dia. Dia begitu sabarnya meladeni adik-adiknya yang tidak suka.
Pengetahuan saya mulai bertambah. Begitu pula dengan kakak-kakak saya. Saya sekarang malah sadar bahwa sikap kakak saya yang pertama adalah upaya dia untuk mempertahankan cintanya kepada adik-adiknya. Memberikan senyum. Terbuka dengan memberikan apa yang dia punya. Tidak seperti kakak-kakak saya yang lain. Saya masih merasa bersalah dengan kakak saya yang pertama. Dia adalah sosok kakak yang mencintai tanpa mengharapkan apa-apa dari adiknya. Dia adalah sosok yang percaya bahwa upaya dia memberikan cintanya agar adik-adiknya juga mempunyai sifat memberi. Mungkin dia sebagai kakak yang pertama adalah menjadikan dia figur untuk dicontoh oleh adik-adiknya. Apa-apa yang dipunyai dan jika seharusnya diberikan. Dia akan memberi. Begitu kakak-kakak saya memperjuangkan bagaimana cara membuat adik-adiknya mengharmoniskan diri dengan keluarga.
Setelah semua kakak-kakak saya menikah. Kecuali saya dan kakak pertama saya yang belum (idih promosi). Sampai saat ini kami baik-baik saja. Tanpa ada pertengkaran. Tetapi persoalan ya pasti ada. Kakak-kakak saya punya karakter beda-beda. Yang jelas kami berusaha untuk membuat hubungan kami baik sampai mencapai titik keharnonisan. Keharmonisan itu ya yang semuanya menerima. Memahami satu sama lain.
Setelah semua kakak-kakak saya menikah. Kecuali saya dan kakak pertama saya yang belum (idih promosi). Sampai saat ini kami baik-baik saja. Tanpa ada pertengkaran. Tetapi persoalan ya pasti ada. Kakak-kakak saya punya karakter beda-beda. Yang jelas kami berusaha untuk membuat hubungan kami baik sampai mencapai titik keharnonisan. Keharmonisan itu ya yang semuanya menerima. Memahami satu sama lain.
Ternyata kekesalan itu muncul ketika tidak menggunakan kesadaran. Kita bisa melihat permasalahan sebagai sesuatu yang salah. Tanpa tahu dan mencari tahu di mana letak kesalahannya. Sebagai manusia memang itulah yang harus dikedepankan. Sisi-sisi kemanusiaan. Kakak saya mengajarkan banyak kisah tentang bagaimana cara mencintai keluarga tanpa ada yang tersakiti. Semoga keluarga saya dan hubungan kami dieratkan dengan rasa toleransi. Sikap terbuka dan juga dipecahkan bersama semoga menjadi perisai. Salam dan maaf. Semoga tulisan ini tidak menyinggung siapapun. Sampai sekarang saya begitu paham. Bahwa keharmonisan itu datang ketika kita saling memahami. Baik karakter mereka yang pelit, yang suka marah-marah, yang pendiam, dan yang lain-lain. Lebih-lebih bahwa saya sampai sekarang merasa bersalah. Semoga dia memakluminya. Hihii
Ya begitulah kira-kira ceritanya. Jangan pernah sia-siakan waktu bersama keluarga! Ini penting.
Ya begitulah kira-kira ceritanya. Jangan pernah sia-siakan waktu bersama keluarga! Ini penting.
2018

Tidak ada komentar:
Posting Komentar