Jumat, 22 Juni 2018

FILOSOFI KO' SAPÈNA MENJELANG LEBARAN


Kali ini saya akan menulis tentang "Filosofi Ko' Sapèna Menjelang Lebaran". "Ko' Sapèna" merupakan bahasa Madura. Ini kalau diterjemahkan secara mentah tanpa tahu sesuatu yang betul itu bagaimana. Istilah itu jadi berarti "Ikan Sapi". "Ko'" yang merupakan bentuk lain dari "Jhuko'" "ikan". Sedangkan "Sapè" murni berarti sapi. Jadi istilah tersebut merupakan satu kesatuan sebagaimana penyebutan ikan-ikan yang lain. Misal "Ko' Tahu" berarti "Ikan Tahu" dan ikan-ikan yang lain. Tetapi sebetulnya istilah tersebut merupakan berarti Menggunakan ikan sapi sebagai santapan. Sama deh seperti kalian bilang. Menu hari ini ikannya pake apa. Pake ikan Cakalan misalnya. Tetapi peristilahan dalam bahasa Madura, mengenai penyebutan memakai ikan apa itu, dengan pertanyaan "Jhuko' apa satèya?" "Ikan apa sekarang?" pasti jawabannya "Ko' sapè" "pake daging sapi" dan jawaban dengan pake ikan yang lainnya. Aduh saya aja yang orang Madura masih bingung dengan peristilahan tersebut. Karena saking uniknya bahasa Madura.

Baiklah saya tidak lagi membahas arti dari kesatuan kata itu. Semoga kalian paham. Yang tidak paham jangan lupa komentar. Saya pasti jawab sebisa saya.

Saya akan bahas bahwa kami, di Madura mempunyai sesuatu yang memang dimiliki oleh masyarakat kami. Itu sepengetahuan saya sih. Bisa jadi ada yang tidak punya tradisi beginian. Yaitu tentang tradisi "Ko' Sapèna" yang maknanya semua orang memakan daging sapi. Entah ini masuk tradisi apa budaya saya tidak tahu. Karena sapi sebagai bahan utama yang keberadaannya memang sejak dahulu bahwa masyarakat Madura kebanyakan memelihara sapi. Maka ya mungkin daging sapi sebagai makanan istimewa untuk acara-acara tertentu. Bisa jadi menu tersebut sebagai hal yang biasa bagi mereka yang sudah memiliki sapi sebelumnya.

Di luar pengetahuan saya yang tidak tahu hal ini masuk ke tradisi apa budaya. Saya menganggap bahwa ini merupakan tradisi. Terutama tradisi makan daging sapi ini yang kemunculan istilah tersebut muncul pada saat lebaran dilaksanakan besok harinya. Baik lebaran Idul Fitri, Idul Adha maupun lebaran ketupat. Di hari itu, menjelang sehari lebaran. Masyarakat pasti menyebut bahwa hari itu adalah "Ko' Sapèna". Saya memahaminya bahwa hal ini terjadi setahun sehari. Setahun sekali ini ditandai dengan simbol perayaan atas menghadapi keimanannya selama bulan Ramadhan. Salah satunya dirayakan dengan memakan daging sapi dalam bentuk apa pun. Baik sate maupun resep lainnya. Setelah saya tanya ke beberapa warga. Kenapa mayoritas masyarakat Madura memakan daging sapi pada saat satu hari sebelum lebaran? Mereka kebanyakan menjawab bahwa dari nenek moyang kami. Kami memang menggunakan bahan utama daging sapi sebagai simbol perayaan. Dari situ saya menangkap. Seandainya tidak ada sapi-sapi yang dipelihara di Madura. Mungkin masyarakat tidak menggunakan daging sapi sebagai bahan utama. Bisa jadi "ko' ajâm" "Ikan Ayam", menggunakan daging ayam yang jadi bahan utama. Tapi tradisi ini juga berlangsung di perayaan Idul Adha dan mungkin perayaan-perayaan yang lain.

Saya juga menilai bahwa posisi daging sapi di Madura telah mengalahkan daging-daging yang lainnya. Jadi kemungkinan besar dari kemenangan daging sapi atas daging-daging yang lain merupakan daging yang istimewa. Masyarakat menggunakan daging yang istimewa sebagai simbol perayaan atas kejadian yang berlangsung setahun sekali. Ya mungkin masyarakar luar memandang bahwa daging sapi merupakan daging yang biasa dicicipi. Keberadaannya selalu ada di pasar-pasar manapun. Tetapi di Madura, yang tidak semua penduduknya mampu membeli daging sapi. Perayaan ini adalah kemenangan bersama. Termasuk yang tidak mampu membeli. Mereka ikut mencicipi dari tradisi "Ter-ater" "saling mengantarkan" (daging sapi) dalam hari "ko' sapèna". Dan lebaran masih ada tradisi "Per-peran" di wilayah saya. Nanti saya tulis setelah ini. 

Semoga yang membaca tulisan ini mengerti. Setidaknya sedikit. Saya jadi cemas tulisan saya dapat membingungkan pembaca. Karena ya pengetahuan saya hanya segitu. Saya butuh banyak pengetahuan mengenai tradisi atau budaya "ko' sapena" baik dari istilah maupun pemaknaan atas simbol yang digunakan. Saya masih belajar dan mau belajar. Kira-kira begitu. Terima kasih.
2018.


KEHARMONIAN DALAM KISAH PERSAUDARAAN KAMI



Saya mungkin akan ceritakan sedikit cerita mengenai saudara-saudara saya. Yang pertama adalah persoalan keharmonisan. Begitu saya menginjak SMP saya cenderung memiliki banyak potensi untuk iri kepada seseorang. Saya seorang anak bungsu (anak ke empat) dari empat bersaudara. Pada waktu itu wacana tentang eksistensi anak bungsu adalah dibilang nyaman, suka dimanja sama orang tua, dan suka dinomorsatukan sudah menjadi pegangan di kepala saya. Tetapi setelah saya mengetahui berbagai hal menyangkut eksistensi saya di lingkungan keluarga. Saya lebih banyak mengamati. Saya memegang rasa iri yang terlalu kuat. Ada cerita pada suatu pagi. Emak saya membagi-bagikan mainan kepada anak orang lain dan Emak memang orangnya suka berbagi. Pada waktu itu saya tidak suka terhadap sosok Emak dan apalagi menghubung-hubungkan dengan wacana yang saya sebutkan di atas. Saya malah nangis. Alasannya karena tidak bisa berbuat adil. Dulu saya meminta sesuatu. Malah saya yang manja daripada dimanjakan.

Pada akhirnya cerita itu terus berulang. Dan saya selalu begitu. Termasuk ke kakak-kakak saya. Setiap kepunyaan saya yang dipakai oleh kakak saya. Saya selalu tidak membolehkan. Saya malah memaksa untuk menaruhnya kembali. Peristiwa ini amat sangat membuat saya menyesal. Apalagi ke saudara saya yang pertama. Saya sangat pelit kepada dia. Saya ingat sebuah peristiwa di mana kakak saya yang pertama itu memakai baju saya. Kira-kira usia saya masih delapan belasan tahun (MA). Kakak saya mau pake buat pergi ke rumah temannya. Dan saya menyuruhnya untuk melepas. Dia tetap ngotot dan memelas untuk tetap memakainya. Sikap saya yang cenderung pelit waktu itu tetap tidak mau. Akhirnya dengan wajah yang memelas kakak saya melepaskan pakaian saya. Dia pergi dengan pakaian lain, pakaiannya sendiri. Ya Tuhan saya tidak membayangkan betapa saya sangatlah buruk waktu itu.

Dengan keadaan yang begitu saya masih bertahan. Kakak saya yang pertama ini sering sekali dimusuhi oleh kakak-kakak saya yang lain. Ada berbagai alasan kakak-kakak saya tidak suka kepada kakak saya yang pertama. Tetapi tidak sedikit pun setelah saya ketahui bahwa kakak saya yang pertama ini punya sifat iri. Dia malah bersabar. Dia bertengkar sama kakak saya dengan kondisi saling memukul. Saya rasa dia hanya memberi pelajaran bagi adik-adiknya yang mulai tak sopan kepada dia. Dia begitu sabarnya meladeni adik-adiknya yang tidak suka.

Pengetahuan saya mulai bertambah. Begitu pula dengan kakak-kakak saya. Saya sekarang malah sadar bahwa sikap kakak saya yang pertama adalah upaya dia untuk mempertahankan cintanya kepada adik-adiknya. Memberikan senyum. Terbuka dengan memberikan apa yang dia punya. Tidak seperti kakak-kakak saya yang lain. Saya masih merasa bersalah dengan kakak saya yang pertama. Dia adalah sosok kakak yang mencintai tanpa mengharapkan apa-apa dari adiknya. Dia adalah sosok yang percaya bahwa upaya dia memberikan cintanya agar adik-adiknya juga mempunyai sifat memberi. Mungkin dia sebagai kakak yang pertama adalah menjadikan dia figur untuk dicontoh oleh adik-adiknya. Apa-apa yang dipunyai dan jika seharusnya diberikan. Dia akan memberi. Begitu kakak-kakak saya memperjuangkan bagaimana cara membuat adik-adiknya mengharmoniskan diri dengan keluarga.

Setelah semua kakak-kakak saya menikah. Kecuali saya dan kakak pertama saya yang belum (idih promosi). Sampai saat ini kami baik-baik saja. Tanpa ada pertengkaran. Tetapi persoalan ya pasti ada. Kakak-kakak saya punya karakter beda-beda. Yang jelas kami berusaha untuk membuat hubungan kami baik sampai mencapai titik keharnonisan. Keharmonisan itu ya yang semuanya menerima. Memahami satu sama lain. 

Ternyata kekesalan itu muncul ketika tidak menggunakan kesadaran. Kita bisa melihat permasalahan sebagai sesuatu yang salah. Tanpa tahu dan mencari tahu di mana letak kesalahannya. Sebagai manusia memang itulah yang harus dikedepankan. Sisi-sisi kemanusiaan. Kakak saya mengajarkan banyak kisah tentang bagaimana cara mencintai keluarga tanpa ada yang tersakiti. Semoga keluarga saya dan hubungan kami dieratkan dengan rasa toleransi. Sikap terbuka dan juga dipecahkan bersama semoga menjadi perisai. Salam dan maaf. Semoga tulisan ini tidak menyinggung siapapun. Sampai sekarang saya begitu paham. Bahwa keharmonisan itu datang ketika kita saling memahami. Baik karakter mereka yang pelit, yang suka marah-marah, yang pendiam, dan yang lain-lain. Lebih-lebih bahwa saya sampai sekarang merasa bersalah. Semoga dia memakluminya. Hihii

Ya begitulah kira-kira ceritanya. Jangan pernah sia-siakan waktu bersama keluarga! Ini penting.
2018

Rabu, 06 Juni 2018

PERISTIWA TANGAN IBU YANG PATAH DAN KUATNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT


Peristiwa hari rabu di tanggal 6 Juni 2018 Ibu terjatuh ketika sedang berjalan menuju Musolla. Tanah tempat Ibu terjatuh, diketahui rata tanpa ada batu-batu yang mencuat ke luar dari tanah. Kejadiannya tepat saat Ibu mau sholat Asyar. "Saya jatuh dua kali. Setelah jatuh dalam keadaan menahannya dengan tangan kemudian bangun tangan sakit dan terjatuh lagi dengan keadaan telentang." begitu ungkapnya ketika saya tanya.

Kabar kecelakaan ini membuat saya segera pulang. Karena beberapa minggu ini saya memang belum pernah pulang dengan alasan banyaknya acara beruntun sekaligus mencari informasi loker dan mendaftarkan diri ke beberapa perusahaan. Saya kemudian segera menemui Ibu di dalam rumah yang tangannya sudah dibalut dengan perban dan dilapisi kerudung miliknya. Kabar kecelakaan tangan Ibu yang patah membuat saya menyalahkan diri saya sendiri. Seandainya ada saya. Ibu mungkin tidak celaka. Karena beliau pasti ngajak saya shalat berjamaah bersama di Musolla. Tapi mau bagaimana lagi toh semuanya sudah ada yang ngatur.

Kejadian ini yang menurut Ibu sendiri berasal dari mimpi semalam. Ibu menghubung-hubungkannya dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Ya seharus memang begitu sih jika ada suatu kejadian yang menimpa tiba-tiba. Pertanyaan dengan kata "jangan, jangan dan jangan, jangan". Semua butuh jangan, jangan. Tapi jangan sampai melupakan satu hal dari perihal jangan, jangan. Yaitu jangan melupakan Tuhan. Kembali ke perihal mimpi. Ini Ibu semalam katanya mimpi tentara tampan. Saya malah diam saja waktu beliau bercerita meskipun menurut saya tidak ada hubungan apa pun. Nanti kalau diberitakan judulnya jadi "Mimpi Tentara Tampan Membuat Seorang Jatuh Celaka" Haha. Tapi jangan, jangan ada hubungannya juga. Sebagaimana penafsir mimpi berlomba-lomba untuk memecahkan misteri dalam mimpi.

Katanya lagi. Kecelakaan ini terjadi gara-gara seorang perempuan nagih uang ikan berkali-kali. Padahal Ibu saya sedang tidur. Ibu saya terbangun juga karena kesal tidur enaknya diganggu-ganggu. Akhirnya Adzan Asyar berkumandang dan membuat Ibu tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi. Ya terjadilah hal itu ketika hendak mau ke Musolla.

Dan satu hal lagi mengenai kecelakaan ini. Kejadian ini terjadi gara-gara tubuh Ibu saya didorong setan dari belakang, ini menurut pengakuan Ibu saya sih dan juga mendapat legitimasi dari seorang Kiai Dukun. Ibu saya diikuti setannya sejak dari kamar mandi. Oh berarti kurang ajar tuh setan ngintip Ibu saya mandi. Astagaa...ini bulan puasa, yang katanya setan itu dikerangkeng. Pikir saya. Lagi-lagi saya terdiam mengenai pengakuan itu. Ditaruhlah kemenyan di kamar mandi sebagai simbol sesajen. Ketika bapak datang bekerja nelayan pukul satu pagi. Beliau langsung negor Ibu setelah mengetahui bahwa Embak saya pergi ke Kiai Dukun. "Setan-setan apa itu di kamar mandi." katanya. Yah. Bapak saya memang begitu. Tapi kadang beliau setuju saja ketika beliau sakit dan Ibu menyuruhnya untuk meminta bantuan Kiai Dukun menangani sakitnya. Lucu sih. Mereka berdua memiliki kepercayaan yang berbeda meskipun ujung-ujungnya salah satu dari mereka pasti nurut. Ini mungkin demi kenyamanan bersama agar tidak berkonflik.

Kepercayaan-kepercayaan itu memang sebagian orang tidak mempercayainya bahwa bulan puasa setan masih berkeliaran. Tapi menurut pengakuan orang-orang sekitar. Bahwa kita harus mematuhi sesepuh kita yang mempercayai bahwa tidak ada bulan-bulan tertentu bagi setan itu meniadakan dirinya. Mereka selalu ada. Entah itu di hati dan di luar. Dari kejadian ini saya berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh perempuan yang menagih uang ikan itu adalah bentuk dari detik-detik ujian Tuhan mau datang. Ini menurut saya sih. Seandainya tidak dibanguni, Ibu tidak akan seperti ini. Tapi tetap saja dapat ujian. Ya namanya manusia. Pasti semua dikasih ujian. Tuhan mengatur waktu sebaik-baiknya dan kita tidak bisa tahu bagaimana bentuknya dari waktu-waktu itu. 

Semoga di bulan penuh barokah ini, keluarga kami diberikan kesehatan dan juga keberkahan. Amiin.
Pamekasan, 2018.