Minggu, 19 Juni 2016

Psikoanalisa dalam cerpen Sepasang Ular di Salib Ungu Triyanto Triwikromo


PSIKOANALISA PADA TOKOH MARGARETH DALAM CERPEN SEPASANG ULAR DI SALIB UNGU TRIYANTO TRIWIKROMO



Zainal Abidin
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura
Jalan Raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan

Abstrak




Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengarang dan karya sastra sebagai penentu dan pencipta bentuk psikoanalisa Lacanian. Cerpen dalam antologi Sepasang Ular di Salib Ungu. Cerpen ini sulit dijamah oleh pemikiran, karena sebuah percakapan yang menyerupai sebuah bacaan puisi dan sebuah alur yang membingungkan pembaca, sehingga pembaca larut dalam imajinasi yang tinggi. Metode penelitiannya menggunakan metode deskriptif analisis. Dalam hal ini cara kerja yang dilakukan adalah mendeskripsikan psikoanalisa pada tokoh Margareth dalam cerita yang terdapat pada karya sastra tersebut melalui tinjauan Psikoanalisa Lacanian. Hasilnya: Hasrat yang terdapat dalam cerpen sepasang ular di salib ungu terdiri atas pencarian pesan akan arti nubuat perahu kencana dalam kitab ular kembar yang kabur dan penuh bercak darah. Nubuat itu menjadi misteri dalam karya sastra terutama pada tokoh Margareth yang berhasrat untuk mencapai The Big Other.

Kata Kunci: Psikoanalisa Lacanian, sepasang ular di salib ungu 

Pendahuluan
Latar Belakang

Tidak semua karya sastra berisi tentang imaji-imaji yang sesuai dengan keinginan pengarang, adakalanya sebuah karya sastra juga bisa membicarakan fakta tentang kejadian yang terjadi dalam masyarakat tetapi untuk memenuhi aturan dalam membuat sebuah karya sastra khususnya ada batas-batas tersendiri, sehingga mengkritik dengan kritikan yang abstrak dapat di angkat dalam karya sastra dengan cara merubah nama tokoh dan ada juga karya sastra yang berunsur imaji-imaji yang sulit dijamah oleh pikiran yang bersifat misteri kehidupan masa lampau maupun masa sekarang dan mendatang. Salah satunya adalah karya Triyanto sepasang ular di salib ungu (selanjutnya akan disingkat SUDU), imajinasi yang sulit ditafsirkan itu membuat karya sastra itu bernilai tinggi, sebab karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang mampu mengecoh pembaca dan mampu menarik pembaca untuk masuk dalam dunia karya sastra. Dan seberapa penting representasi imajinasi itu dipentingkan dalam dunia sastra?
  
Dalam cerpen SUDU, ada satu persoalan yang terletak pada Margareth Wilson dengan pencarian pesan dibalik nubuat perahu kencana dalam kitab ular kembar yang kabur dan penuh bercak darah itu. Ugo Untoro mengaku seakan mabuk dalam imajinasi yang tertransfigurasi kala cerpen karangan Triyanto Triwikromo membuatnya terdorong untuk menerjemahkannya secara visual di atas kanvas (kartika, 2010). Artinya tidak sembarang orang dapat menerjemahkan karya-karya Triyanto.
Keinginan yang semu, keinginan yang fatamorgana yang dilakukan oleh Margareth yang dipastikan April bahwa ia sedang berjalan tidur setelah mencicipi James Bond Martini. Ada sebuah hasrat yang tak terpenuhi dalam diri Margareth akan pesan nubuat itu. Margareth berhasrat menjadi penari yang kelak mengumpulkan patung-patung dan menatanya di sebuah bukit sehingga membuat perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai.

Deskripsi Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana psikoanalisa Lacanian yang ditampilkan dalam tokoh Margareth pada cerpen sepasang ular di salib ungu karya Triyanto Triwikromo?

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dari kajian bidang studi sastra dan dengan adanya penelitian ini penulis bisa mengembangkan hasil dari penelitiannya dalam bentuk skripsi. Sesuai permasalahan yang diuraikan di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendeskripsikan psikoanalisa Lacanian yang ditampilkan dalam tokoh Margareth pada cerpen sepasang ular di salib ungu karya Triyanto Triwikromo.

Landasan Teori
Psikoanalisa Lacanian

Jacques Lacan (1901-1981) merupakan seorang psikoanalis Perancis. Beliau pada asalnya terlatih dalam bidang psikiatri malah dalam dekad-dekad 30-an dan 40-an pernah merawat pesakit psikotik di Paris. Setelah keluar dari International Psychoanalytic Association pada 1953 karena perbedaan amalan perbuatan, Lacan bersama Daniel Lagache menubuhkan Societe Francaise de Psychoanalyse. Dalam tahun-tahun 1950-an Lacan mula mengembangkan versi psikoanalisisnya berdasarkan gagasan strukturalis linguistik dan antropologi. Sebahagian besar daripada gagasan awal Sigmund Freud tentang psikoanalisis mempengaruhi pemikiran Lacan. Beliau kemudiannya melakukan interpretasi semula psikoanalisis Frued itu dalam gaya strukturalis dan pasca-strukturalis. Justru itu didapati kerangka teori ini secara kasarnya menggabungkan dua teori awal yaitu psikoanalisis Freud dan strukturalisme Saussure.

Lacan juga menumbuhkan Ecole Freudienne di Paris pada 1964 setelah teorinya kian berkembang. Bukunya Ecrits (1966) mendapat perhatian dari banyak pihak; walau ia dikatakan sukar ditanggap masih mempengaruhi bidang lain seperti linguistik, teori film dan kritikan kesusasteraan. Tulisan Lacan yang lain antaranya ialah The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis (1977), Feminine Sexuality (1982) dan tiga volum dalam The Seminar of Jacques Lacan (1988). (Shafei, 2007, Lacan dalam “cermin” Asmah Nordin).

Ketika membicarakan Lacan, kita tidak terlepas dari pemikiran Freud mengenai Id, Ego, dan Superego, dan teori kompleks Oedipus, lalu Lacan merumuskan teori itu ke dalam ranah linguistik. Lacan menyatakan ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa dan semiotika serta linguistik dianggap masuk akal dalam menjelaskan ketidaksadaran. Ketidaksadaran menurut Lacan adalah rangkaian penandaan. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya lalu melakukan pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. (Lacan, 1977: 155-156 dalam skripsi Stephani Natalia W). (Ismoyo, 2012, Pemikiran Jacques Lacan).

Lacan memandang bahwa subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan perversitas polimorfosis.

Hasrat pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik, bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika tercebur ke dalam dunia bahasa, bayi mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Bentuk lain dari hasrat adalah ‘keinginan untuk menjadi” sebuah subjek yang utuh, tidak terbelah dan tanpa kekurangan (lack) dan penuh dengan pemenuhan. Hasrat ini berarti hasrat kembali pada yang real, yang telah menghilang saat akuisisi bahasa. Hasrat untuk kembali pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol.

Pembacaan atas konsep Lacan harus menggunakan dua pendekatan linguistik, yakni metonimi dan metafora. Kontribusi Lacan menghubungkan psikoanalisis dengan logika linguistik cukup berharga, baik dalam studi ilmu sosial maupun studi ilmu psikologi maupun psikologi klinis. Dalam konsep Lananian, Lacan secara tegas dan konsisten memegang pandangannya bahwa justru id – lah yang mengontrol ego, bukan sebaliknya. (Iriani, 2013, Teori Sosial : Jacques Lacan).

Lacan menyinggung tiga konsep penting; kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Pada ketiga tahapan itu, tatanan simbolik merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa. Konsep tatanan simbolik diilhami dari pemikiran Lévi-Strauss tentang hubungan kekeluargaan dalam dunia sosial. Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. (Hill, 2002: 8-11).

Yang real

Tahapan yang real berlangsung dari sang bayi lahir hingga berumur 6-18 bulan. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam artian ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu.

Sang bayi dengan kata lain berada dalam situasi ‘kepenuhan’. Belum ada konsep ‘pribadi’ yang muncul pada tahapan ini, relasi yang terjadi hanyalah keinginan bayi dan objek pemuas yang didapatkan bayi itu. Kepenuhan dapat terjadi tanpa adanya ketiadaan. Perlu dicatat, yang real bukanlah realitas.

Yang real adalah gagasan realitas yang terbentuk dari konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat. Bayi tidak mengenal konsep keterpisahan dengan ibunya (Liyan). Bayi adalah individu yang tidak memiliki pemahaman atas ‘kediriannya’ dengan kata lain sang bayi tidak memiliki subjektivitas tentang konsep diri sebagai individu.

Tahapan yang real akan terhenti ketika sang bayi menyadari ia berbeda dengan ibunya (Liyan). Ketika dirinya adalah sesuatu yang berdiri sendiri selain sesuatu di luar dirinya, tepat pada saat itulah kebutuhan (need) sang bayi menjadi permintaan (demand). Kesadarannya akan keterpisahan dengan sang ibu , mengenal Liyan, secara langsung menjadikan ia kehilangan sesuatu dan tidak merasa penuh. Terjadinya ketidakpenuhan yang diakibatkan dari timbulnya permintaan ini menjadi awal mula tahapan imajiner atau le stade de mirroir.

Imajiner

Fase imajiner ditandai dengan kesadaran sang bayi bahwa ia merupakan individu yang terpisah dari ibunya, atau memasuki tahapan cermin ketika tuntutan permintan mulai muncul karena terbentuknya konsep ‘kedirian’ karena identifikasi ‘diri’ yang dilakukan sang bayi atas gambar pantulan dirinya di cermin. Fase ini terjadi antara usia 6-18 bulan, sang bayi belum memiliki kendali utuh atas dirinya namun ia menyadari dirinya adalah ‘diri’ yang berdiri sendiri.

Pembentukkan ilusi ego yang terjadi karena adanya identifikasi imajiner atas pantulan diri di cermin itu menjadi ‘pembenaran’ bagi sang bayi sebagai identitas yang terpisah dari ibunya. Hal inilah yang disebut Lacan saat sang bayi mengalami méconnaisance atau kesalahpahaman sang bayi mengenali pantulannya. Sang bayi berpikir pantulan itu adalah dirinya namun sebenarnya pantulan itu bukanlah dirinya, kemudian sang bayi merepresentasikan pantulan dirinya di cermin sebagai ‘diri’ dan darisanalah tercipta ‘ego’.

Méconnaissance juga menciptakan sebuah pelindung subjektivitas atas sebuah gambaran semu atau ilusi dari kesatuan ‘diri’ yang salah dimengerti. Sebuah penyatuan dan keseluruhan yang melingkupi konsep ‘diri’ yang tidak penuh karena adanya posisi ke’lainan’ (liyan). (Lacan, 2004:306-307 dalam skripsi Stephani Natalia W).

Dalam proses inilah pemahaman ‘keakuan’ sang bayi terbentuk seperti konsep kompleks Oedipus pada teori Freud di mana sang anak merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan liyan atas identifikasi yang dilakukannya atas pantulan cermin, sehingga menimbulkan konflik dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam dirinya. Perpecahan dalam diri itulah yang menyebabkan sang anak lalu membuat gambaran tentang ego ideal yang diperolah dari keadaan “Liyan” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego.

Tatanan simbolik

Tatanan simbolik ditandai dengan adanya konsep hasrat (desire). Simbolik juga menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Sang anak akan masuk ke dalam dunia simbolik ketika ia mengetahui konsep “Liyan” dan dirinya teridentifikasi dari gambaran pantulan cermin. Sang anak mau tidak mau akan memasuki tahapan simbolik yang merupakan struktur dari bahasa, di mana di dalamnya sang anak akan menjadi subjek yang berbicara.

Tahapan imajiner dan simbolik dikatakan Lacan bersinggungan, terjadi pada saat sang anak menyadari ‘keakuannya’ saat melihat pantulan cermin dan melihat gambar ‘yang lain’ dalam cermin itu. Bahasa menjadi penting karena dapat diterima oleh akal sehat, begitu pula tatanan simbolik. Tatanan simbolik didasarkan pada suatu hal yang rasional, adanya identitas, sesuatu yang berasal dari logika, sistem yang bekerja secara tepat dan validitasnya terjamin.

Sang anak sebagai subjek dapat dikatakan mulai masuk ke dalam tatanan simbolik ketika ia merasakan kepenuhan ketika ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik, sama seperti yang dirasakan dalam tahapan imajiner. Namun perasaan akan keinginan untuk mencapai kepenuhan diri tidak akan pernah ditemukan dalam individu, dan disanalah ironi kehidupan manusia. Itulah mengapa Lacan menyebutkan tatanan simbolik sebagai perubahan ‘liyan’. Ketidaksadaran adalah wacana atas ‘liyan’; tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner. Tatanan simbolik dengan kata lain adalah faktor yang menentukan subjektivitas, subjek selalu berada di tataran imajiner dan simbolik, tetapi imajiner hanyalah fatamorgana dari apa yang terjadi pada tataran simbolik.

Phallus (nom-du-père)

Konsep Lacan mengenai nom-du-père berasal dari kompleks Oedipus Freud yang dikembangkan secara sosial-budaya. Nom-du-père adalah konsep inti dari tatanan simbolik, ketika Freud menyatakan penis sebagai sebuah simbol ‘utuh’ dari sisi biologis dan pembeda antara laki-laki dan perempuan. Lacan menyatakan nom-du-pere adalah Liyan atau sering juga disebut sebagai phallus. Phallus yang dimaksud Lacan bukanlah penis tetapi sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan kepenuhan dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik.

Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar tatanan simbolik. Seperti dikatakan Lacan sebelumnya bahwa bahasa menjadi penting karena adanya rantai penanda dan petanda yang terikat satu sama lain dan tidak pernah terputus, konsep ini diadaptasi dari Saussurean, namun Lacan mengoreksi Saussure, ia menyatakan petanda merupakan sesuatu yang cair atau tidak tetap, bukan sesuatu yang ‘ajeg’. Sama halnya dengan bahasa, phallus merupakan struktur dari bahasa itu sendiri, ia adalah pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik, ia adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran, bersifat tidak stagnan, maka dari itu phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas.

Dalam memahami pengertian phallus, kita harus memahami juga peran kastrasi. Definisi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan dari ketakutan akan kastrasi di mana Lacan menggambarkan individu takut kehilangan sesuatu (dalam hal ini penis), seperti dijelaskan di atas, Lacan mengandaikan phallus pada perempuan sama halnya dengan vagina, payudara, dan klitoris. Konsep penis dapat digantikan sebagai sesuatu kekurangan dalam kebertubuhannya. Phallus is what no one can have but everyone wants: a belief in bodily unity wholeness perfect (Robertus, 2008:3).

Jouissance dan desire

Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’, Lacan menjelaskan hal ini merupakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga kita akan merasakan penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung.

Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni, sama seperti dua keping mata uang, kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesakitan’ tertentu. Lacan menjelaskan adanya perasaan ingin mencapai jouissance diakibatkan adanya situasi ‘la manque’ terhadap hal tertentu, bersamaan ketika kita meniadakan rasa itulah, kita mendapatkan kenikmatan dalam tanda-tanda dalam tataran simbolik yang real. (Robertus, 2008:6)

Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis di mana individu menyakiti dirinya untuk mencapai kepuasan tertentu, hal ini tidak hanya berada pada ranah seksual, tapi juga dalam ranah sosial, seseorang merepresi keinginannya untuk menemukan sebuah kepuasan dari rasa sakit atas penekanannya atas keinginannya itu. Jouissance menjadi alas dari keinginan sehingga kenikmatan dari mengingini sesuatu akan terus terjadi demi proses pencapaian keinginan itu sendiri, karena individu menemukan kepuasan dalam mengingini di dalam ketiadaan kepuasan. (Ismoyo, 2012, Pemikiran Jacques Lacan).

Pembahasan
Hasrat Menguasai

Menurut Lacan hasrat adalah ‘keinginan untuk menjadi” sebuah subjek yang utuh, tidak terbelah dan tanpa kekurangan (lack) dan penuh dengan pemenuhan.

Dalam cerpen SUDU “keinginan untuk menjadi” ada pada tokoh Margareth yaitu berkeinginan untuk menjadi penari yang berkuasa “Dan akulah penari yang akan menemukan patung-patung itu, April. Aku bakal menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni”.

"Pada akhirnya perahu kencana itu menghunjam dari langit kelabu. Setelah amblas ke dasar laut tak jauh dari pantai, seorang penari cantik bakal menyelam mencari bangkai perahu itu dan menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti. Patung-patung itu kelak akan ditata oleh sang penari di sebuah bukit sehingga membuat Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai."


Pada kutipan di atas itu adalah kemungkinan pesan dari isi dalam nubuat perahu kencana dalam kitab ular kembar yang kabur dan penuh bercak darah dan Margaret yang mengartikan pesan itu, lalu ia representasikan dalam imajinasinya bagaimana supaya pesan nubuat itu jadi kenyataan dan pengertian yang diartikan olehnya yaitu posisi dirinya hendak ia representasikan penari dalam nubuat.

Lacan juga berpendapat Simbolik menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu.

Dalam cerpen SUDU, Margareth menginginkan dirinyalah yang hanya bisa jadi penari dan hanya dirinyalah yang mampu untuk diutus jadi penari. ”Kecuali Sang Utusan, tidak seorang pun boleh menyusup ke kabin suci, Sayang. Jadi, tunggulah aku di atas bukit agar kelak kau menjadi penyaksi pertama keajaiban semesta yang ditumpahkan dari langit sebagaimana Tuhan mencurahkan cahaya aneh pada kercik hujan.”

Lacan menyebutkan tatanan simbolik sebagai perubahan ‘liyan’. Ketidaksadaran adalah wacana atas ‘liyan’; tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner.

Margareth mengalami perubahan liyan dengan ditandai oleh sebuah perkataannya yang melekat pada tatanan simboliknya yaitu dengan berbahasa. Dengan berbahasa perkataan Margareth adalah sebuah aturan dimana Margareth dituntut untuk melakukan sesuatu dalam dunia imajiner.

Kepuasan Margareth

Menurut Lacan tahapan yang real berlangsung dari sang bayi lahir hingga berumur 6- 18 bulan. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam artian ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu.

Dalam cerpen SUDU Margareth merasa puas akan hal yang ia representasikan dalam imajinasinya mengenai pesan nubuat yang ia artikan sendiri “Dan akulah penari yang akan menemukan patung-patung itu, April. Aku bakal menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni” Kepuasaan Margareth tidak sampai disini saja, ia perlu mencari kepuasan-kepuasan lainnya menurut hakekat manusianya sendiri bahwa manusia terkesan belum puas untuk memenuhi keinginan-keinginan. Seperti contoh saya menginginkan mobil mewah, setelah mendapatkan mobil mewah saya puas dan lama-kelamaan saya mulai bosan dengan mobil itu, kemudian usaha manusia/saya adalah mencari kepuasan-kepuasan lain, entah beli mobil terbaru lagi atau mencari sesuatu yang lebih dari mobil mewah, istilahnya mewah dari yang termewah.

Jouissance

Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’, Lacan menjelaskan hal ini merupakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga kita akan merasakan penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung. Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni.

Dalam cerpen SUDU selama diperjalanan bentuk imajiner dari Margareth. Margareth mengalami pengingauan, pengingauan yang disengaja, karena sebuah wacana yang pernah ia artikan dalam nubuat itu hanyalah imajiner belaka, ia ingin mencapai hal itu tetapi itu tidak mungkin ia peroleh. Sebab, sesuatu yang imajiner tak pernah diterima oleh sesuatu yang bersifat Real. Ia hanya menikmati dari bentuk keimajinerannya, ia mengalami pengingauan yang dalam sehingga ia berada dalam kondisi ketidaksadaran akan apa yang telah dilakukan imajinernya dengan membawa ia pada kenyataan yang semu Jouissance menjadi alas dari keinginan sehingga kenikmatan dari menginginkan sesuatu akan terus terjadi demi proses pencapaian keinginan itu sendiri, karena individu menemukan kepuasan dalam menginginkan di dalam ketiadaan kepuasan.

Simpulan

Cerpen SUDU pada tokoh Margareth merepresentasikan dirinya untuk mengartikan pesan akan arti nubuat yang terkandung dalam nubuat perahu kencana dalam kitab ular kembar yang kabur dan penuh bercak darah. Hasrat Margareth adalah menjadi penari berkuasa “Dan akulah penari yang akan menemukan patung-patung itu, April. Aku bakal menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna warni”.

Margareth menginginkan dirinyalah yang hanya bisa jadi penari dan hanya dirinyalah yang mampu untuk diutus jadi penari. ”Kecuali Sang Utusan, tidak seorang pun boleh menyusup ke kabin suci, Sayang. Jadi, tunggulah aku di atas bukit agar kelak kau menjadi penyaksi pertama keajaiban semesta yang ditumpahkan dari langit sebagaimana Tuhan mencurahkan cahaya aneh pada kercik hujan.” Yang menurut Lacan Simbolik menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu.

Kepuasan adalah bentuk pengakuan Margareth tentang apa yang ia lakukan dengan imajinasinya yang mengartikan arti pesan dari nubuat perahu kencana dalam kitab ular kembar yang kabur dan penuh bercak darah, yang menurut Lacan tahapan yang real berlangsung dari sang bayi lahir hingga berumur 6-18 bulan. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam artian ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu. Jadi Margareth mendapat kepuasan dari konsumsi penginginan penguasaan jadi penari yang berkuasa.

kemudian psikoanalisa Lacanian pada tokoh Margareth adalah yang menjadi objeknya Margareth ingin berkuasa dan Jouissance-nya adalah Margareth mengalami pengingauan, pengingauan yang disengaja, karena sebuah wacana yang pernah ia artikan dalam nubuat itu hanyalah imajiner belaka, ia ingin mencapai hal itu tetapi itu tidak mungkin ia peroleh.

Daftar Rujukan

Iriani, Zuky. 2013. Teori Sosial : Jacques Lacan, (online), (www.academia.edu), diakses 03 mei 2016.

Ismoyo, Jessy. 2012. Pemikiran Jaques Lacan, (online), (www.ismoyojessy.id), diakses 03 mei 2016.

Kartika, Novi. 2010. Transfigurasi Ular di Mangkuk Nabi, (online), (https://m.tempo.co), diakses 03 mei 2016.

Shafei, Mawar. 2017. Lacan dalam “Cermin” Asmah Nordin, (online), (http://www.geocities.ws), diakses 03 mei 2016.

Triwikromo, Triyanto. 2009. Sepasang Ular di Salib Ungu, (online), (https://cerpenkompas.wordpress.com), diakses 28 april 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar